Pusat Studi Cyber STIK Lemdiklat Polri menegaskan komitmennya untuk memperkuat kapasitas kepolisian dalam menghadapi perkembangan kejahatan siber yang terus meningkat. Kepala Pusat Studi Cyber STIK Lemdiklat Polri, Prof. Yudho Giri Sucahyo, S.Kom., Ph.D, menjelaskan, bahwa pusat studi ini dibentuk pada Februari 2025 bersama lima pusat studi lainnya sebagai langkah strategis menghadapi eskalasi ancaman digital.
“Di dunia digital ini tentu saja kita tidak dapat terpisahkan dari dunia cyber. Bahkan saat ini para Ibu, Bapak, Komendan sekalian juga sambil mengecek WA, mengecek Telegram dan lainnya. Itu semua berada di dunia cyber,” ujar Prof. Yudho dalam acara Peresmian Pusat Studi Sumber Daya Manusia Polri Pusat Studi Pasific-Oceanian dan Pusat Studi Kehumasan Polri, di PTIK, Jakarta, Kamis (27/11/25).
Ia menegaskan, bahwa Indonesia memiliki potensi besar menjadi kekuatan digital dunia. “Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi internet kelima terbesar di dunia pada tahun 2045. Simply karena kita punya pasar, karena kita punya populasi,” katanya.
Katanya, tren kejahatan non-konvensional, khususnya kejahatan siber, menunjukkan peningkatan signifikan berdasarkan big data laporan kejahatan Polri.
“Nyuri mobil masih, nyuri ayam masih, tetapi kejahatan cyber terus naik. Kita perlu membangun kapasitas Polri untuk menangani kejahatan semacam itu — mulai dari ransomware, deepfake, hingga sentimen analisis di media sosial,” katanya.
Mengutip dokumen Digital Indonesia Vision 2045 dari Kemenkominfo, ia menyebutkan bahwa terdapat tiga pilar penting untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045: pemerintahan digital, masyarakat digital dan ekonomi digital.
“Arahan Kapolri sudah jelas: bagaimana Polri bisa menyajikan layanan publik secara digital kepada masyarakat semudah memesan pizza. Kini mengurus SKCK dan perpanjangan SIM jauh lebih mudah menggunakan perangkat mobile,” ungkapnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa kesenjangan digital masih terjadi di Indonesia. Karena itu, layanan Polri harus tetap tersedia baik secara digital maupun non-digital.
Terkait ancaman keamanan siber nasional, Prof. Yudho mengungkapkan bahwa serangan ransomware yang menyerang Badan Data Nasional beberapa waktu lalu hanyalah “puncak gunung es”.
“Ransomware itu hanya satu dari 514.508 serangan ransomware yang tercatat. Tidak semuanya diberitakan media, tetapi banyak komponen masyarakat yang meminta bantuan Polri,” tegasnya.
Ia menambahkan, bahwa kebocoran data yang melibatkan institusi kepolisian kerap memancing reaksi cepat dari publik, meski sering kali kejadian tersebut telah berlangsung beberapa tahun sebelumnya.
Untuk menjawab berbagai tantangan siber, Pusat Studi Cyber STIK Lemdiklat Polri menerapkan tiga pilar utama pendidikan yakni riset, edukasi dan pengabdian masyarakat. Program studi Manajemen Teknologi Kepolisian (Mantekpol) juga telah memasukkan mata kuliah terkait keamanan informasi.
“Kalau bicara 5W1H, satu lagi adalah ‘where’. Tempatnya adalah ruang Pusat Studi Cyber yang kami gunakan untuk membimbing mahasiswa. Saat ini ada dua mahasiswa meneliti manajemen reputasi era post-truth dan digitalisasi kontra narasi radikalisme berbasis generative AI,” jelasnya.
Lebih lanjut Prof. Yudho menegaskan, pentingnya menjaga tiga komponen dalam keamanan informasi: confidentiality, integrity, dan availability, tidak hanya melalui aspek teknis seperti enkripsi dan firewall, tetapi juga edukasi dan kebijakan.
Ia juga menekankan, perlunya kolaborasi antarinstansi dalam menjaga keamanan siber nasional.
“Kolaborasi dengan pihak dalam maupun luar negeri perlu terus dilakukan — termasuk dengan BSSN, Kominfo, dan berbagai organisasi internasional. Ini menjadi kewajiban kita bersama untuk meningkatkan kapasitas Polri menjaga keamanan siber bangsa,” pungkasnya.




